SEMARANG – Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan memicu kekhawatiran di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Sejumlah pakar menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan sistem hukum di Indonesia dan membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa.
Pandangan ini mencuat dalam dialog bertajuk "Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut", yang diselenggarakan di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang. Diskusi menghadirkan tiga narasumber utama: Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo Achmad Gunaryo, Ketua PKY Jateng sekaligus Penghubung Komisi Yudisial Muhammad Farhan, serta advokat dan praktisi hukum serta politik Bambang Riyanto.
Pasal-Pasal Bermasalah yang Dinilai Berisiko
Dalam diskusi tersebut, ketiga pakar hukum sepakat bahwa terdapat beberapa pasal dalam revisi UU Kejaksaan yang perlu dikaji ulang karena berpotensi melemahkan prinsip independensi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.
"Ada beberapa item dalam revisi yang sangat krusial dan perlu ditelaah lebih dalam. Misalnya Pasal 8 ayat 5 yang mengatur bahwa pemeriksaan terhadap jaksa harus mendapat izin dari Jaksa Agung. Hal ini bisa berdampak pada independensi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum, " ujar Bambang Riyanto dalam keterangannya, Jumat (7/2/2025).
Selain itu, pasal mengenai rangkap jabatan (Pasal 11A ayat 2) juga dinilai berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Sedangkan Pasal 30B huruf ‘b’, yang memberikan kewenangan bagi Kejaksaan untuk menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, dinilai terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan. Begitu pula dengan Pasal 30B huruf ‘e’, yang mengatur pengawasan multimedia, memunculkan kekhawatiran akan potensi intervensi terhadap kebebasan berekspresi di dunia digital.
Kekhawatiran akan Penyalahgunaan Kewenangan
Menurut para narasumber, revisi ini justru memperkuat kewenangan kejaksaan dalam berbagai aspek, termasuk pemberian senjata api bagi jaksa untuk perlindungan diri. Namun, perluasan kewenangan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.
Baca juga:
Dirjen HAM Tinjau 2 UPT Kota Semarang
|
Achmad Gunaryo menyoroti pentingnya mekanisme checks and balances dalam sistem hukum. "Kewenangan yang terlalu besar tanpa pengawasan yang memadai bisa menjadi pintu masuk bagi penyalahgunaan kekuasaan. Kita harus ingat bahwa hukum diukur dari tiga aspek utama menurut Lawrence M. Friedman, yaitu budaya hukum, struktur hukum, dan substansi hukum. Ketiganya harus diperbaiki secara bersamaan, " jelasnya.
Judicial Review sebagai Solusi
Para narasumber sepakat bahwa untuk menghindari dampak negatif dari revisi ini, diperlukan pengkajian ulang melalui mekanisme judicial review. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa revisi yang dilakukan tetap sejalan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan independensi dalam sistem hukum Indonesia.
Muhammad Farhan menegaskan bahwa pengawasan terhadap Kejaksaan harus dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu pengawasan internal dan eksternal. "Pengawasan internal telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-038/A/JA/12/2009, tetapi tetap perlu ada pengawasan eksternal yang kuat agar tidak ada penyalahgunaan wewenang, " ujarnya.
Dengan berbagai kekhawatiran yang muncul, revisi UU Kejaksaan ini diharapkan tidak hanya memperkuat institusi kejaksaan, tetapi juga tetap menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum yang adil. (MIR)